Sejarah Pesantren Ternama Di Indonesia

Sejarah Pesantren

Sejarah Pesantren – Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak lepas dari peran pondok pesantren. Para ulama zaman dulu mengajarkan agama melalui pendidikan di pondok. Pondok pesantren atau terkadang hanya disebut dengan pesantren, merupakan sebuah model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Pengertian ini merupakan definisi dari Departemen Agama RI, yang diambil dari buku Doktrin dan Pemahaman Keagamaan di Pesantren oleh Syarif Hidayatullah. Keberadaan pondok pesantren sudah lama berdiri di Indonesia.

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, pondok pesantren sudah berdiri terlebih dahulu. Pondok pesantren sudah ada sejak zaman kerajaan Islam di Nusantara. Literatur mengenai awal mula pendirian pondok pesantren pertama di Indonesia cukup bervariasi.

Berbagai sumber menyebutkan waktu yang berbeda-beda mengenai kapan munculnya pondok pesantren pertama di Indonesia. Masih dari sumber yang sama, pondok pesantren pertama kali muncul di Indonesia pada abad ke-14.

Hal ini didasarkan pada Babad Demak, sebuah karya tulis literatur klasik Jawa, yang menyebutkan bahwa pondok pesantren pertama kali tumbuh pada masa Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Masa ini berbarengan dengan periode kekuasaan Prabu Kertawijaya Majapahit.

Sementara itu, Edy Sutrisno menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Model Pengembangan Kurikulum Pesantren di Era Digital, waktu munculnya pondok pesantren pertama di Indonesia adalah sekitar tahun 1062 Masehi di Pamekasan Madura.

Pondok pesantren di Pamekasan Madura itu bernama pesantren Jan Tampes II. Namun hal ini diragukan karena tentunya pondok pesantren Jan Tampes I lah yang lebih tua.

Berbeda dari dua sumber sebelumnya, buku Studi Kritik Pendidikan Kontemporer: Analisis Merdeka Belajar karya Herman menyebutkan bahwa munculnya pondok pesantren pertama di Indonesia adalah sekitar tahun 1359.

Pondok pesantren ini didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau biasa dikenal dengan sebutan Syekh Maghribi yang berasal dari Gujarat India. Ia dipercaya sebagai orang yang mendirikan pondok pesantren pertama di pulau Jawa.

Sumber pertama menyebutkan pondok pesantren saat itu didirikan untuk tujuan utama mencetak calon kiai atau ulama. Kiai-kiai ini diharapkan suatu saat akan membangun pondok pesantrennya masing-masing di daerah lain atau sekedar mencetak pendakwah yang mengajarkan ajaran keagamaan kepada umat Islam.

Dalam sebuah pondok pesantren, terdapat seorang pemimpin yang disebut sebagai kiai. Di Sumatra Barat, kiai disebut dengan panggilan “buya”, sedangkan di Lombok mereka dipanggil dengan “tuan guru.”

Kegiatan pembelajaran dan kajian ditangani oleh kiai langsung dengan dibantu oleh asisten kiai yang disebut sebagai “badal kiai.” Selain itu, juga ada ustadz atau ustadzah yang membantu menanamkan disiplin, ketekunan, dan memupuk kapasitas intelektual para santri sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.

Ilmu-ilmu khusus yang biasanya diajarkan dalam pondok pesantren antara lain:

  • Tauhid: teologi Islam
  • Fiqh: yurisprudensi Islam
  • Akhlaq: etika Islam
  • Nahw atau sharf: tata bahasa Arab
  • Tafsir: penjelasan Al-Qur’an
  • Hadits: tradisi kenabian
  • Ushul fiqh: system yurisprudensi Islam
  • Tilawah: seni baca Al-Qur’an
  • Tahfidz: menghafal Al-Qur’an
  • Hisab: astronomi
  • ‘Arudl: bagian dari sistem pengetahuan sastra Arab
  • Filsafat Islam

Sementara itu, murid yang belajar di sebuah pondok pesantren disebut dengan santri. Santri dibagi menjadi tiga macam, yang pertama adalah santri muqim atau santri yang belajar dan tinggal di dalam pondok pesantren.

Sejarah Pesantren Gontor

Pondok Modern Darussalam Gontor, atau sering dikenal sebagai Pondok Modern Gontor, adalah sebuah pondok pesantren (ponpes) yang terletak di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Menurut laman resminya, pondok pesantren ini mengklaim sebagai lembaga pendidikan murni yang tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apa pun.

Cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada tahun 1680, saat Kyai Ageng Muhammad Hasan Besari mendirikan Pondok Tegalsari di Desa Jetis Ponorogo (10 KM arah selatan Kota Ponorogo).

Pondok Tegalsari sangat termasyhur pada masanya, sehingga didatangi ribuan santri dari berbagai daerah di pelosok nusantara. Kepemimpinan Pondok Tegalsari berlangsung selama enam generasi.

Pada pertengahan abad ke-19 yaitu pada masa Kyai Hasan Khalifah, Pondok Tegalsari mulai mengalami kemunduran. Pada saat itu, dia mempunyai seorang santri kesayangan bernama R.M. Sulaiman Djamaluddin, seorang keturunan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Kyai Hasan Khalifah kemudian menikahkan putri bungsunya Oemijatin (dikenal dengan Nyai Sulaiman) dengan R.M. Sulaiman Djamaluddin dan mereka diberi tugas mendirikan pesantren baru untuk meneruskan Pondok Tegalsari, yang di kemudian hari pesantren baru ini dikenal dengan Pondok Gontor Lama.

Pondok Gontor Lama

Berbekal 40 santri yang dibawa dari Pondok Tegalsari, Kyai R.M. Sulaiman Djamaluddin bersama istrinya mendirikan Pondok Gontor Lama di sebuah tempat yang terletak ± 3 kilometer sebelah timur Tegalsari dan 11 kilometer ke arah tenggara dari kota Ponorogo.

Pada saat itu, Gontor masih merupakan hutan dan kerap kali dijadikan persembunyian perampok, penjahat, dan penyamun. Kepemimpinan Pondok Gontor Lama berlangsung selama tiga generasi:

  • Generasi 1: Sulaiman Djamaluddin (pendiri Pondok Gontor Lama)
  • Generasi 2: Archam Anom Besari (putra dari Sulaiman)
  • Generasi 3: Santoso Anom Besari (putra dari Archam Anom Besari)

Kyai Santoso Anom Besari menikah dengan Rr. Sudarmi, keturunan R.M. Sosrodiningrat (Bupati Madiun). Kyai Santoso Anom wafat pada tahun 1918 di usia muda dan meninggalkan 7 anak yang masih kecil.

Kepemimpinan Pondok Gontor Lama pun akhirnya berakhir, Di kemudian hari, tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama dengan memperbarui dan meningkatkan sistem serta kurikulumnya.

Pondok Modern Darussalam Gontor

Setelah menuntut ilmu di berbagai pesantren tradisional dan lembaga modern, tiga orang putra Kyai Santoso Anom akhirnya kembali ke Gontor dan pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi SAW, mereka mengikrarkan berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG).

Ketiganya dikenal dengan sebutan Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu:

  • Ahmad Sahal (1901–1977)
  • Zainudin Fananie (1908–1967)
  • Imam Zarkasyi (1910–1985)

Pada tanggal 12 Oktober 1958 bertepatan dengan 28 Rabi’ul Awwal 1378, Trimurti mewakafkan PMDG kepada Umat Islam. Sebuah pengorbanan kepemilikan pribadi demi kemaslahatan umat. Pihak penerima amanat diwakili oleh 15 anggota alumni Gontor (IKPM) yang kemudian menjadi Badan Wakaf PMDG.

Sejarah Pesantren Tebu Ireng

Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timuryang didirikan oleh K.H. M. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899.

Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke dalam struktur kurikulum pengajarannya.

Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik, terutama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.

Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Pesantren ini didirikan setelah ia pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan terkemuka dan di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya.

Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya Jombang – Kediri.

Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam). Versi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis.

Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang.

Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.

Organisasi NU tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan lebih dari 400 cabang, tetapi pengurus-pengurus wilayah NU yang kegiatan usahanya cukup nyata antara lain adalah yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Saat ini, keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng telah berkembang dengan baik dan semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas. KH Hasyim Asy’ari ikut serta mengusir penjajah dari tanah air.

Salah satunya terlihat saat ia mengeluarkan resolusi jihad yang menggerakan masyarakat untuk mengusir penjajah.

Demikianlah pembahasan mengenai sejarah pesantren. Semoga bias bermanfaat untuk kita semua, serta semoga artikel ini dapat dipergunakan dengan semestinya, sekian terima kasih.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *