Psikologi Bencana Dan Kajiannya

Psikologi Bencana

Psikologi bencana adalah studi bidang psikologi yang mengkaji tentang dampak psikologis dari bencana dan intervensi psikologis yang dapat dilakukan untuk memulihkan keadaan psikologis orang yang mengalami bencana.

Bencana atau peristiwa traumatik menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah dampak psikologis bagi yang mengalami, baiksecara langsung ataupun tidak langsung. Gangguan stress pasca trauma (PTSD), depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan penggunaan obat-obatan merupakan dampak psikologis akibat bencana atau peristiwa traumatik yang tergolong serius (Bisson & Lewis, 2009).

Salah satu usaha yang dilakukan untuk mencegah dampak yang serius ini adalah psychological debriefing, namun hasil riset menemukan bahwa teknik tersebut tidak efektif untuk mencegah terjadinya dampak yang serius akibat bencana (Hobbs, Mayou, Harrison, & Warlock. 1996).

Intervensi lain yang kemudian digunakan adalah psychological first aid (PFA) atau dukungan psikologis awal. Dianalogikan seperti physical first aid atau pertolongan pertama pada kecelakaan, PFA juga merupakan penanganan segera setelah kejadian untuk mengurangi dampak negatif dari bencana atau peristiwa traumatik serta memperkuat proses pemulihan penyintas.

PFA juga menjawab permasalahan terbatasnya tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater yang dapat melakukan intervensi psikologis segera setelah bencana atau peristiwa traumatik terjadi. Hal ini disebabkan karena PFA dapat dilakukan oleh siapapun yang telah mendapatkan pelatihan PFA.

Saat ini PFA menjadi salah satu teknik yang cukup banyak dikembangkan dan digunakan di Indonesia. Seiring dengan hal tersebut berbagai riset di luar negeri telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas PFA.

Hingga saat ini, sebagian besar riset yang mencoba mengukur efektivitas PFA adalah studi literatur yang sistematis (Bisson & Lewis, 2009; Fox, dkk. 2012; Dieltjens, 2014). Hasil review menunjukan bahwa PFA merupakan layanan awal yang membutuhkan tindak lanjut.

Keterbatasan dari studi ini adalah kurangnya bukti adekuat yang bersumber dari studi deskriptif, retrospective atau prospective observational analytical, atau studi eksperimen berbasis populasi.

Mengingat Indonesia merupakan negara yang rentan terjadi bencana dan masih sedikitnya petugas kesehatan mental profesional, studi yang menghasilkan bukti secara langsung yang adekuat sangatlah dibutuhkan, seperti studi longitudinal quasi-eksperimen dengan randomized sampling.

Studi longitudinal penting dilakukan untuk melihat bahwa PFA merupakan intervensi yang efektif, bukan hanya karena faktor waktu yang memulihkan penyintas.

Lebih lanjut, studi ini tidak hanya bertujuan untuk menguji efektivitas PFA sebagai intervensi yang dapat mengurangi dampak negatif dari bencana atau peristiwa traumatik serta memperkuat proses pemulihan penyintas.

Namun, juga dapat menjawab berbagai pertanyaan lain, seperti keahlian apa yang paling membantu pemulihan pasca peristiwa traumatis; kompetensi seperti apa yang perlu dimiliki oleh pemberi layanan PFA; tindakan apa yang harus dilakukan setelah PFA diberikan, dan lain sebagainya.

Psikologi Krisis dan Bencana

Bencana membawa efek negatif luar biasa pada seluruh sendi kehidupan manusia. Temuan berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan pada berbagai problem kesehatan fisik dan psikologis penyintas bencana jangka panjang.

Itu bisa berupa penurunan kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana.

Dampak bencana menurut Gregor (2005) sangat terasa pada sebagian orang akibat kehilangan keluarga dan sahabat, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda, kehilangan akan makna kehidupan yang dimiliki, perpindahan tempat hidup serta perasaan ketidakpastian karena kehilangan orientasi masa depan, serta keamanan personal.

Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa.

Pada sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya waktu. Namun, pada sebagian yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung lebih lama berupa trauma dan problem penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana.

Gejala- gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distress dan dapat mempengaruhi
kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam kehidupan dengan baik (Retnowati, 2012).

Korban bencana alam rentan mengalami penurunan kesehatan mental dan dapat mengalami trauma psikologis.

Sebagian besar individu yang mengalami bencana alam mampu melanjutkan hidupnya tanpa pengaruh negatif dari kejadian traumatis yang dialaminya.

Namun, beberapa korban mungkin mengalami trauma psikologis yang berkelanjutan sehingga dibutuhkan peran dari berbagai pihak untuk dapat membantu proses pemulihan trauma pascabencana. Percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi tentu juga berperan penting dalam proses ini.

Menurut Kubler Ross, terdapat sebuah siklus berduka yang menjelaskan respons manusia dalam menghadapi kejadian yang tidak diinginkan dan jauh dari harapan, termasuk bencana alam.

Siklus ini mencakup tahapan terkejut, menyangkal, marah, depresi, frustrasi, melepaskan diri, menawar, dialog, hingga penerimaan.

Korban bencana alam yang berlarut-larut dalam duka dan tidak dapat mencapai tahap penerimaan dalam waktu lebih dari sebulan pascabencana dapat mengalami gangguan stres pasca-trauma atau yang sering disebut dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Dengan begitu, dibutuhkan pertolongan psikologis pertama atau biasa disingkat PFA (psychological first aid), dapat dilakukan dengan memberikan dukungan sosial, emosional, atau praktis kepada para korban bencana.

Inti dari PFA adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan rasa cemas, takut, sedih, marah, atau emosi-emosi negatif lainnya.

Secara garis besar, PFA dapat dilakukan dalam tiga langkah. Pertama, melihat dan memeriksa dengan seksama tanda-tanda perilaku trauma atau reaksi stres serius yang membutuhkan bantuan.

Jurnal Psikologi Bencana

  1. Journal of Holistic Nursing and Health Science. Volume 2, No. 1, Juni 2019 (Hal. 31-38). Available Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/hnhs. Zurriyatun Thoyibah, dkk. Gambaran Dampak Kecemasan dan Gejala Psikologis… pp. Gambaran Dampak Kecemasan dan Gejala Psikologis pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi di Lombok
  2. Journal of Contemporary Islamic Counselling. Vol. 1, No. 1 (2021), pp. 25-38. Journal Homepage: https://alisyraq.pabki.org/index.php/jcic/. MEREDUKSI DAMPAK PSIKOLOGIS KORBAN BENCANA ALAM MENGGUNAKAN METODE BIBLIOTERAPI SEBAGAI SEBUAH PENANGANAN TRAUMA HEALING REDUCING THE PSYCHOLOGICAL IMPACT OF NATURAL DISASTER VICTIMS USING BIBLIOTHERAPY METHOD AS A TRAUMA HEALING HANDLER
  3. Jurnal Penelitian & PPM ISSN: 2442-448X Vol 5, No: 1 Hal: 1 – 110 April 2018. Dimensi Kesehatan Mental Pada Pengungsi Akibat Bencana. Oleh: Meilanny Budiarti S., Moch. Zaenuddin, Hetty Krisnani, Rizky Adrian Assidiq. Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran

Demikianlah detail informasi mengenai psikologi bencana. Semoga bisa menambah pemahaman kita semua mengenai materi ini, terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *