Fenomenologi Agama dan Tokohnya

Fenomenologi Agama

Fenomenologi Agama – Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 danawal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disiplin-disiplin keilmuan yang berbeda. 

Seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul sepertiantroplogi,  sosiologi,  arkeologi,  dan dalam  bidang  kelimuan yang dikenal  sebagai Religionswissenchaft (sains agama). 

Tujuan utama dari  keilmuan tersebut pada masa-masa awaladalah untuk memberikan deskripsi yang obyektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat. 

Tentang berbagai aspek  kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya  untuk membuatperbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya dan agama Baratketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.

Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi. 

Dan penilaian-penilaian subyektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otorita seksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan obyekti.

Fenomenologi Agama Adalah

Sebagaimana dalam perkembangan ilmu-ilmu social, fenomenologi merupakan arah baru dalam pendekatan terhadap agama, dapat dikatakan bahwa fenomenologi agama merupakan salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern terhadap agama. 

Ilmu-ilmu agama dewasa ini telah mengalami kemajuan yang pesat, dengan adanya penemuan-penemuan baru, secara nyata hal ini memperlihatkan bahwa agama merupakan objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. 

Hal inilah yang kemudian memunculkan kesulitan dalam perumusan fenomenologi agama. Meskipun fenomenologi agama masih dalam perdebatan dikalangan ilmuan agama, namun fenomenologi agama dapat menjadi penengah diantara pendekatan-pendekatan agama selama ini. 

Para penganut agama berusaha untuk membandingkan pengalaman agama mereka sendiri yang sering menggunakan metode yang tidak kritis terhadap pengalaman agama lain, disertai perumusan keunggulan-keunggulan agama mereka. 

Dalam sisi yang berbeda, kalangan filsafat mencoba menganalisis konsep-konsep relegius kemudian mencari kesamaan-kesamaan antara perumusan masing-masing agama. Dengan cara ini pengalaman-pengalaman keagamaan kongkret sering terlewatkan. 

Dua cara pendekatan diatas sulit mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengamatan dari sudut pengalaman agama biasanya mempunyai bias subjektif apologetic.

Sedangkan pengamatan dari sudut filsafat dicurigai tidak sesuai dengan kenyataan agama sebagai sesuatu yang dialami dan dihayati, bahkan oleh yang meneliti. 

Dalam konteks inilah fenomenologi agama menjadi penting. Fenomenologi agama, menurut C.J. Bleeker sebagaimana dikutip Sudiarja adalah studi agama dengan cara membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh prinsip universal. 

Untuk hal ini prinsip kerja fenomenologi Husserl mengenai ephoce dan pandangan eidetic digunakan. 

Fenomenologi agama menurut Raffaelle Pettazoni adalah pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan data agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkan data. 

Berdasarkan hubungan tersebut tanpa harus mengadakan komparasi tipologis antar berbagai fenomena agama.  

James L. Cox berdasarkan prinsip-prinsip fenomenologi yang dikembangkan Husserl mendefiniskan fenomenologi agama sebagai sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur ephoce (penundaan penilaianpenilaian sebelumnya) 

Dan intuisi eidetic (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspon oleh orangorang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka. Tujuan tertinggi fenomenologi agama adalah menemukan intisari atau esensi agama. 

Ini sekaligus kelemahan menurut H.L. Beck (1990), dimana penerimaan pengalaman keagamaan sebagai prinsip metodologi tidak sesuai dengan syarat yang dapat dipahami dengan cara yang intersubjektif dan interkomunikabel. 

Pengalaman keagamaan juga tidak memenuhi sayarat tahkik maupun  pemalsuan (falsifikasi). Fenomenologi menekankan pentingnya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun, tradisi metafisika, epistemology, ataupun sains. 

Hal utama yang dilakukan oleh fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. 

Kembali kepada kekayaan pengalaman manusia yang kongkret, lekat, dan penuh penghayatan.2 Hampir semua cabang ilmu pengetahuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, fenomenologi memberikan arah baru dalam psikologi, antropologi, kesehatan, arsitektur termasuk didalamnya agama.

Tokoh Fenomenologi Agama 

Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama dari aliran filsafat fenomenologi. Dalam masa awal Husserl berusaha untuk mengembangkan filsafat radikal, atau mazhab filsafat yang menggali akar-akar pengetahuan dan pengalaman. 

Persoalan ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap positivistic yang dinilai gagal membuat hidup menjadi lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi lahir sebagai reaksi atas metodologi positivistic Auguste Comte. 

Pendekatan positivistic selalu mengandalkan seperangkat fakta social yang obyektif, atas gejala yang tampak sehingga cenderung melihat fenomena hanya dari permukaan saja, tidak mampu memahami makna dibalik fenomena. 

Fenomenologi berangkat dari pola pikir subyektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak namun berusaha menggali makna dibalik setiap fenomena itu. 

Nah itulah informasi yang bisa kami bagikan mengenai Fenomenologi Agama, semoga informasi yang kami bagikan ini bermanfaat untuk kalian semua dan terima kasih telah membaca.      

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *