Sejarah Tasawuf Dalam Islam

Sejarah Tasawuf

Sejarah Tasawuf  – Tasawuf atau yang dikenal juga sebagai sufisme merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, serta membangun dhahir dan batin untuk dapat memperoleh kebahagian abadi.

Sejarah, madzhab, dan inti ajarannya memiliki sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf. 

Meski memiliki definisi beragam, tasawuf kemudian memiliki arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.

Masih dalam sumber yang sama, tasawuf sendiri dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan serta penyatuan antara hamba dan Tuhan serta mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (ma’rifat) serta inti rasa agama.

Sejarah tasawuf dalam islam 

Tasawuf mempunyai sejarah dan perkembangan yang panjang dan menarik. Berikut adalah beberapa fase perkembangan tasawuf dari masa ke masa.

Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Pada fase ini, tasawuf masih bersifat praktis dan belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu. Tasawuf pada fase ini merupakan bentuk apresiasi terhadap perilaku kehidupan Nabi Muhammad Saw yang penuh sahaja. 

Para sahabat Nabi Saw dan generasi berikutnya mencoba meneladani Nabi Saw dalam hal zuhud (menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat), wara’ (berhati-hati dalam beramal), tawakkal (berserah diri kepada Allah), sabar (menerima takdir Allah dengan lapang dada), syukur (menghargai nikmat Allah), dan lain-lain.

Beberapa tokoh yang terkenal dalam fase ini adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Hasan Al-Basri, Rabiah Al-Adawiyah, dan lain-lain¹.

Abad Ketiga Hijriyah

Pada fase ini, tasawuf mulai berkembang menjadi ilmu yang memiliki konsep-konsep dan terminologi-terminologi khusus. 

Tasawuf pada fase ini juga mulai membedakan antara maqamat (tingkatan-tingkatan dalam perjalanan spiritual) dan ahwal (keadaan-keadaan batin yang dialami oleh para sufi). 

Tasawuf pada fase ini juga mulai mengembangkan metode-metode untuk mencapai kesempurnaan batin, seperti zikir (mengingat Allah), muraqabah (merenungkan diri dan Allah), muhasabah (mengevaluasi diri), mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu), dan lain-lain.

Beberapa tokoh yang terkenal dalam fase ini adalah Dzun Nun Al-Mishri, Ma’ruf Al-Karkhi, Sari As-Saqati, Junaid Al-Baghdadi, Bisyir Al-Hafi, Bayazid Al-Bistami, Harits Al-Muhasibi, dan lain-lain.

Abad Keempat Hijriyah

Pada fase ini, tasawuf mencapai puncak kejayaannya sebagai ilmu yang memiliki sistematisasi dan metodologi yang lengkap. Tasawuf pada fase ini juga mulai menunjukkan keberagaman dalam pemikiran dan aliran-aliran. 

Beberapa aliran tasawuf yang muncul pada fase ini adalah aliran wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dipelopori oleh Ibnu Arabi, aliran wahdatul syuhud (kesaksian wujud) 

Yang dipelopori oleh Ibnu Sab’in, aliran syathariyah (tasawuf praktis) yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili, aliran akhlaqiyyah (tasawuf moral) yang dipelopori oleh Imam Al-Ghazali, dan lain-lain.

Beberapa tokoh yang terkenal dalam fase ini adalah Abu Bakr Asy-Syibli, Abu Sa’id Al-Kharraz, Abu Yazid Al-Bistami, Abu Sulaiman Ad-Darani, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Abu Al-Hasan Asy-Syadzili, dan lain-lain.

Abad Kelima Hijriyah dan Setelahnya

Pada fase ini, tasawuf mulai mengalami kemunduran dalam hal kreativitas dan orisinalitas. Tasawuf pada fase ini lebih banyak mengikuti dan mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. 

Tasawuf pada fase ini juga mulai mengalami tantangan dan kritik dari berbagai pihak, baik dari kalangan ulama maupun dari kalangan awam. 

Beberapa tantangan dan kritik yang dihadapi oleh tasawuf antara lain adalah tuduhan bid’ah (menyimpang dari ajaran Islam), syirik (menyekutukan Allah), khurafat (percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal), dan lain-lain.

Namun, tasawuf tetap bertahan dan berkembang hingga saat ini dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan membentuk tarekat-tarekat (organisasi-organisasi sufi) yang memiliki silsilah (rantai guru-murid) yang terhubung dengan Nabi Saw. 

Tarekat-tarekat ini memiliki aturan-aturan, syarat-syarat, dan praktik-praktik khusus yang harus diikuti oleh para anggotanya. Beberapa tarekat yang terkenal antara lain adalah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, Rifa’iyah, Syattariyah, dan lain-lain.

Tasawuf juga menyebar ke berbagai negara dan daerah dengan berbagai cara, seperti melalui perdagangan, pernikahan, dakwah, pendidikan, seni, budaya, dan lain-lain. Di Indonesia, tasawuf memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan Islam sejak masa awal hingga sekarang. 

Beberapa tokoh tasawuf yang terkenal di Indonesia antara lain adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Singkili, Wali Songo, Alawiyyin, dan lain-lain.

Sejarah tasawuf falsafi

Asal-usul tasawuf falsafi tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sejarah munculnya tasawuf itu sendiri. Sejumlah literatur menyebutkan, pemikiran sufisme tersebut sudah ada sejak 15 abad yang silam. 

Ketika syiar Islam mulai menyebar ke seluruh Timur Tengah dan negara-negara tetangganya, banyak orang dari berbagai negeri tertarik untuk mengunjungi Semenanjung Arabia. Mereka datang untuk mendengar ajaran Nabi Muhammad SAW.

Di antara para pencari kebenaran tersebut, terdapat pula sejumlah kelompok orang dari berbagai latar belakang negeri, bangsa, dan budaya yang dipersatu kan oleh kerinduan batin untuk mem pelajari realitas agama. 

Orang- orang ini lantas menemukan ajaran Nabi SAW ternyata begitu dekat dengan hati mereka.

Mereka menjadi begitu terpesona oleh kecintaan kepada Ilahi, sehingga orang-orang itu pun memutuskan untuk mengabdikan diri lewat cara pemurnian hati, serta pemusatan pikiran dan batin mereka hanya kepada Sang Pencipta. 

“Kelompok ini kemudian mengembangkan salah satu gerakan yang paling terkenal dalam sejarah peradaban, yaitu tasawuf alias sufisme,” ungkap Dr Nahid Angha dalam karyanya, Practical Sufism and Philosophical Sufism.

Sejak masa itu, kata dia, tasawuf telah dianggap sebagai proses perjalanan batin manusia untuk mencapai pengetahuan diri. Perjalanan tersebut nantinya akan mengarah kepada satu tujuan, yakni pemahaman Ilahi. 

Untuk bisa sampai kepada pemahaman kebenaran tersebut, ada tahap-tahap tertentu yang mesti dilewati para sufi. Mereka harus mempelajari aturan-aturan, disiplin, dan praktik tasawuf. Seseorang tidak akan menjadi sufi tanpa menghormati proses tersebut.

Pada periode-periode awal kemunculan sufisme, kata Angha, orang-orang yang mendapat pencerahan lewat jalan tasawuf tidak menyebut diri mereka sebagai sufi. “Istilah tersebut baru mun cul bertahun-tahun kemudian,” imbuhnya.

Setelah menerima ajaran dari Nabi, para pendiri tasawuf kembali ke tanah air mereka masing-masing. Mereka lalu mewariskan pengetahuannya kepada murid-murid mereka sehingga akhirnya membentuk pusat tasawuf sendiri. 

Beberapa di antaranya yang paling terorganisasi dan mapan adalah di Khorasan (timur laut Iran), Fars (Iran tengah), dan Baghdad (Irak).

Para murid sufi generasi awal tersebut, pada gilirannya, melakukan perjalanan ke banyak negeri. Mereka pun mengajar dan memperkenalkan ajaran tasawuf di negeri-negeri yang mereka datangi. 

Itulah informasi yang bisa kami bagikan, semoga informasi yang kami bagikan ini bermanfaat dan terima kasih telah membaca.   

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *