Epigrafi Indonesia Dan Sejarah

Epigrafi Indonesia

Epigrafi Indonesia – Epigrafi, kajian mengenai tulisan, selalu terkait dengan berbagai bidang ilmu. Dalam cakupan arkeologi, epigrafi bersinggungan sejarah kuno Indonesia. Epigrafi merupakan jalan memahami sejarah kuno berdasarkan sumber prasasti.

Epigrafi merupakan salah satu cabang ilmu arkeologi yang berusaha meneliti tentang benda-benda tertulis yang berasal dari masa lampau (Pradana, 2015: 1). Salah satu sumber yang menjadi objek kajian epigrafi adalah prasasti.

Prasasti berasal dari kata pracasti yang berarti pengumuman pemerintah, surat keputusan, atau piagam (Zoetmulder, 2011: 850). Kajian epigrafi di Indonesia dipelopori oleh Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Indonesia pada Abad ke-19.

Kemudian landasan mengenai penelitian epigrafi Indonesia disusun oleh Friederich, yang kemudian diikuti oleh para peneliti barat seperti Hendrich Kern, J.L.A Brandes, N.J. Krom, Bosch, serta peneliti pribumi Poerbatjaraka.

Kajian epigrafi yang mulai meluas dan mendalam mengenai berbagai aspek kesejarahan, baik aspek religi, sosial, ekonomi, hukum, dan tokoh membuat kajian ini menjadi suatu kajian yang sangat kuat untuk mengungkap sejarah kuno Bangsa Indonesia (Soejono, 2001: 6).

Kegunaan dari epigrafi sendiri adalah untuk merekonstruksi peristiwa di masa lalu yang terkait dengan kondisi ekonomi, sosial, politik, hukum dan keamanan. Keterangan yang tertera dalam prasasti dapat mengungkap informasi faktual di masa lampau.

Informasi-informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh sejarawan dalam menyingkap tabir sejarah, terutama berkaitan dengan sejarah Indonesia Kuno.

Terdapat tiga macam model penelitian epigrafi, yaitu: (1) penelitian analitis; (2) penelitian sintesis dengan pendekatan fungsi-fungsi kebudayaan; (3) penelitian gabungan analitis dan sintesis secara struktural (Dwiyanto, 1993: 7).

Ahli Epigrafi Indonesia Yang Dijuluki Sebagai Indiana Jones Adalah

Boechari (1927-1991) ialah pakar epigrafi dan sejarah kuno Indonesia yang sampai saat ini sulit dicari bandingannya. Mahasiswa arkeologi UI sampai dengan angkatan 1980-an familiar dengan namanya. Karya-karyanya membuka tabir kegelapan sejarah Indonesia yang sebelumnya tidak bisa dijelaskan para ahli.

Meski demikian, karya Prof. Boechari baik mengenai epigrafi maupun sejarah kuno Indonesia tersebar di berbagai penerbitan ilmiah di dalam dan luar negeri.

Ahli epigrafi, yang disebut juga dengan epigraf, mempunyai kemampuan menganalisis prasasti dengan kemampuannya untuk membaca tulisan kuno, baik berupa huruf kuno maupun bahasa kuno.

Tugas seorang epigraf tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum dipublikasikan melainkan juga meneliti kembali prasasti yang telah terbit dalam transkripsi sementara.

Kemudian ahli epigrafi tersebut harus menerjemahkan prasasti itu ke dalam bahasa yang digunakan saat ini sehingga para peneliti lain, khususnya ahli-ahli sejarah dapat menggunakan berbagai macam keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, ahli epigrafi banyak menjumpai berbagai macam hambatan. Menurut arkeolog Indonesia yang menekuni bidang epigrafi yaitu Drs.Hasan Djafar, masalah yang pertama adalah karena banyak prasasti terutama prasasti batu, yang sudah berada dalam keadaan usang sehingga sulit untuk membacanya.

Kendati usianya sudah tak muda lagi, Dr Hasan Djafar (75) yang lahir di Pamanukan 16 Februari 1641 itu menjelaskan tentang Prasasti Sangguran dengan semangat menggebu namun sabar.

Bak ‘Indiana Jones’, film Hollywood tentang arkeolog petualang itu, Hasan juga berkelana, bersekolah hingga Belanda membaca salinan isi prasasti hingga menggali artefak-artefak kuno di penjuru Nusantara.

Hasan memperdalam studi epigrafi atau ilmu prasasti dan sejarah kuno Indonesia di Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, pada tahun 1984-1985. Di Leiden, Hasan dibimbing langsung oleh ahli prasasti Indonesia berkebangsaan Belanda Johannes Gijsbertus (JG) de Casparis.

Kini, arkeolog yang mahir bahasa kuno tak banyak. Namun, Hasan mengaku ada penerusnya, seperti Titi Surti Nastiti, putri sastrawan Ajip Rosidi yang kini mengabdi di Pusat Arkeologi Nasional.

Epigraf harus membaca bagian-bagian yang usang tersebut berkali-kali hingga mendapatkan pembacaan yang memuaskan.

Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Kedua, dihadapkan pada waktu menerjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam prasasti masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu.

Perintis Epigrafi Indonesia

  • Sir Thomas Stamford Bingley Rafles
  • C.J. van der Vlis R.H. Theodore Friederich
  • Johan Hendrik Caspar Kern
  • Karel Frederik Holle
  • A. B. Cohen Stuart
  • Jan Laurens Andries Brandes
  • N.J. Krom
  • F.D.K. Bosh
  • W.F. Stutterheim
  • R.M.Ng. Poerbatjaraka
  • P.V. van Stein Callenfels
  • Roelof Goris
  • Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis
  • Louis Charles Damais
  • Boechari

Epigrafi Indonesia Pdf

Epigrafi sebagai sumber data sejarah, sangat mendukung dalam penelitian sejarah. Terutama dari masa klasik (Hindu-Buddha) hingga masa kolonial dan pendudukan Jepang. Bahkan masa pasca kemerdekaan Indonesia.

Mengumpulkan para ahli dalam bidang-bidang tersebut sangat penting dalam memperkokoh pondasi keilmuan epigrafi dan memperkaya hasil penelitiannya.

Peningkatan sumber daya manusia epigrafi Indonesia sangat penting dilakukan. Mengingat para peneliti epigrafi atau epigrafi di Indonesia hingga saat ini masih terbatas. Sementara, temuan sumber data epigrafi di Indonesia dari berbagai daerah semakin melimpah dengan bentuk, karakter, beserta varian-variannya.

Sehingga dibutuhkan dukungan melalui kegiatan-kegiatan berupa pelatihan, workshop, seminar, lokakarya, hingga dorongan atau motivasi untuk studi lanjut jenjang S2 dan S3. Serta short course ke luar negeri. Sehingga, para ahli epigrafi diharapkan mempersiapkan diri dalam menerima dan menghadapi tantangan serta peluang.

Para ahli epigrafi Indonesia juga berperan dalam sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat. Saat ini banyak komunitas pelestari warisan budaya aksara Jawa kuno serta aksara lokal di Indonesia.

Sehinga perlu disadari bahwa beberapa pelopor atau pemateri (tentor) dari agenda-agenda kelas aksara, kini tergabung menjadi anggota dalam Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) pada masing-masing komda.

Demikianlah detail informasi tentang epigrafi Indonesia. semoga bisa menambah wawasan kita semua mengenai materi ini. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *